ebuah kearifan diperlukan untuk membangun dan mempertahankan
keberadaban sebuah peradaban. Etika agama dan budaya adalah pembentuk
kearifan sekaligus kontrol sosial.
Entah
berapa lama kita terkurung dalam belenggu ketidakpastian dan
ketidakpuasan. Ketidakpastian yang dimaksud ialah rasa ketidakpuasan
terhadap keadaan, perubahan dan harapan untuk mendapatkan kebahagiaan
sebagai pribadi, anggota sosial dan tentu saja sebagai warga negara.
(Bolehlah sekali-kali ikut beropini tentang kondisi bangsa kita). Saya
mungkin hanya setitik pasir di luas pantai yang ingin terinduksi cahaya
matahari pagi untuk sekedar merasa hangat dan mencintai tanah kelahiran
sendiri.
Ada yang hilang dari khazanah kehidupan bermasyarakat kita (setidaknya
itu yang saya rasakan), sekalipun dalam lingkup terkecil, seperti
keluarga. Sebuah kearifan yang semestinya berakar dan tercermin melalui
sikap, moral dan akhlak. Kearifan itu terbentuk dari pengenalan,
pemahaman, pengalaman dan pengamalan nilai-nilai agama dan budaya dalam
wujud etika hidup. Agama merupakan regulasi ilahiyah yang meluruskan
jalan hidup seorang insan. Budaya menggambarkan keharmonisan pikir dan
cara kita menjalani kehidupan. Memang tak selalu sejalan, tetapi bisa
saling melengkapi dalam cerita hidup insani. Ketika salah satu tidak
teraplikasi, timbullah ketimpangan yang bisa mempengaruhi makna dan cara
hidup seseorang.
Kearifan seperti apa yang hilang? Yang paling jelas ialah kearifan
lokal dalam menyelesaikan masalah/konflik. Dari tingkat elit hingga
masyarakat kelas bawah hampir tak ada bedanya, kekerasan sering
digunakan untuk meyelesaikan masalah. Hampir setiap hari, berita media
tak luput dari berita dan peristiwa kekerasan. Tak heran jika banyak
masalah yang tidak tuntas, malah semakin rumit dan memicu masalah baru.
Kekerasan seakan menjadi satu-satunya jalan yang paling absolut untuk
menyelesaikan masalah dan mencapai tujuan tertentu. Padahal, kita bangsa
yang beragama dan berbudaya, punya cara, strategi penanganan konflik
yang berpedoman kepada agama dan budaya : musyawarah. Agama mengajarkan untuk menyelesaikan masalah secara komunikatif hingga tercapai ishlah
(perdamaian). Falsafah dan budaya bangsa kita juga mengajarkan untuk
menyelesaikan masalah dengan cara-cara musyawarah untuk mufakat, dan itu
menjadi salah satu butir pedoman penghayatan dan pengamalan Pancasila
sebagai dasar negara kita. Musyawarah merupakan cermin kearifan yang
akan membuat keberlanjutan hubungan antarmanusia bertahan.
Mengapa kearifan itu hilang? jawabannya sederhana : ketidakpuasan.
Ketidakpuasan yang bertumpuk yang dipicu oleh keadaan bisa membuat
seseorang merasa tertekan, terancam dan akhirnya bersikap keras bahkan
bertindak anarkis. Kondisi yang tidak menentu mampu meluruhkan,
melunturkan dan melenyapkan kesabaran bahkan keimanan seseorang,
sehingga cara yang ditempuh berdasarkan dorongan hawa nafsu belaka.
Ketika ketidakpuasan berujung kekerasan, maka dengan serta merta
kearifan itu juga hilang. Untuk mengembalikannya tidak mudah. Butuh
kekuatan iman dan keyakinan, serta perbaikan keadaan (bukan sekedar
perubahan). Di sinilah pentingnya pendekatan agama dan budaya dalam
manajemen hubungan antarmanusia, serta untuk menumbuhkembangkan kembali
mentalitas kesantunan dan kearifan sebagai sebuah kontrol personal dan
sosial.
Sumber :http://niahidayati.net/mengatasi-konflik-sosial-dengan-kearifan.html