Sebenarnya apa sih pengertian
Masyarakat Multikultural ? Apa pula ciri-ciri yang dimiliki masyarakat
multikultural ? Sebagaimana telah banyak diketahui, bahwa masyarakat
merupakan kategori yang paling umum untuk menyebut suatu kumpulan
manusia yang saling berinteraksi secara kontinyu dalam suatu wilayah
atau tempat dengan batas-batas geografik, sosial, atau kultural yang
tertentu. Terdapat istilah-istilah yang lebih khusus yang digunakan
untuk menyebut pengumpulan manusia dengan karakteristik tertentu.
Misalnya yang menekankan bahwa interaksi yang kontinyu itu berlangsung
dalam batas-batas wilayah geografik tertentu, sehingga orang-orang dalam
batas wilayah itu saling berinteraksi secara lebih intensif daripada
dengan orang-orang yang berada di luar batas itu. Pengelompokan yang
demikian ini disebut komunitas, atau masyarakat setempat. Misalnya
masyarakat desa atau masyarakat kota. Juga dapat dalam lingkup ruang
geografik yang lebih kecil, misalnya Rukun Tetangga, Rukun Kampung,
dusun, dan sebagainya.
Untuk wilayah sosial, dapat
berupa kelas atau kelompok sosial tertentu. Misalnya untuk yang
berjenjang dapat berupa kelas atas, kelas menengah, atau kelas bawah,
sedangkan yang tidak berjenjang dapat juga kelompok kiri, kanan, atau
tengah, berbagai kelompok profesi, atau sebagaimana diungkapkan Geertz,
ada kelompok santri, priyayi, atau abangan. Untuk kategori wilayah
kebudayaan, dapat berupaka sukubangsa atau kelompok-kelompok agama.
Demikianlah, sehingga –sekali
lagi– masyarakat merupakan penyebutan yang paling umum dan general untuk
sebuah pengumpulan manusia pada suatu wilayah.
Apa
yang dimaksud dengan masyarakat multikultural? Masyarakat jenis ini
kadang disebut sebagai masyarakat majemuk atau plural society.
Istilah plural society, pertama
kali digunakan oleh JS Furnival untuk menyebut masyarakat masyarakat
yang terdiri atas dua atau lebih tertib sosial, komunitas atau
kelompok-kelompok yang secara kultural, ekonomi dan politik
terpisah-pisah serta memiliki struktur kelembagaan yang berbeda-beda
antara satu dengan lainnya, atau dengan kata lain merupakan suatu
masyarakat di mana sistem nilai yang dianut oleh berbagai kesatuan
sosial yang menjadi bagiannya adalah sedemikian rupa sehingga para
anggotanya kurang memiliki loyalitas terhadap masyarakat sebagai
keseluruhan.
Istilah plural atau majemuk
sebenarnya berbeda dengan pengertian heterogen. Majemuk atau plural itu
merupakan lawan dari kata singular atau tunggal. Sehingga, masyarakat
plural itu bukan masyarakat yang tunggal. Masyarakat tunggal merupakan
masyarakat yang mendukung satu sistem kebudayaan yang sama, sedangkan
pada masyarakat plural, di dalamnya terdapat lebih dari satu kelompok
baik etnik maupun sosial yang menganut sistem kebudayaan (subkultur)
berbeda satu dengan yang lain. Sebuah masyarakat kota, mungkin tepat
disebut sebagai masyarakat heterogen, sepanjang meskipun mereka berasal
dari latar belakang SARA (sukubangsa, agama, ras, atau pun
aliran/golongan-golongan) yang berbeda, tetapi mereka tidak mengelompok
berdasarkan SARA tersebut. Heterogen lawan dari kondisi yang disebut
homogen. Disebut homogen kalau anggota masyarakat berasal dari SARA yang
secara relatif sama. Disebut heterogen kalau berasal dari SARA yang
saling berbeda, namun –sekali lagi– mereka tidak mengelompok
(tersegmentasi) berdasarkan SARA tersebut.
Selanjutnya, suatu masyarakat
disebut multikultural, majemuk, atau plural apabila para
anggota-anggotanya berasal dari SARA yang saling berbeda, dan SARA
tersebut menjadi dasar pengelompokan para anggota masyarakat, sehingga
dalam masyarakat terdiri atas dua atau lebih kelompok etnis maupun
sosial yang didasarkan pada SARA yang pada umumnya bersifat primordial,
dan masing-masing mengembangkan subkultur tertentu. Interaksi
antar-kelompok lebih rendah daripada interaksi internal kelompok.
Bahkan, di dalam banyak masyarakat majemuk, struktur sosial yang ada
sering bersifat konsolidatif, sehingga proses menuju integrasi sosialnya
terhambat.
Agar lebih jelas, berikut dikemukakan ciri masyarakat multikultural menurut van Den Berghe.
1. Mengalami segmentasi ke dalam kelompok-kelompok dengan subkultur saling berbeda
2. Memiliki struktur yang terbagi ke dalam lembaga-lembaga yang nonkomplemen
3. Kurang dapat mengembangkan konsensus mengenai nilai dasar
4. Relatif sering mengalami konflik
5. Secara relatif integrasi sosial tumbuh di atas paksaan, dan/atau
6. Ketergantungan ekonomi, dan/atau
7. Dominasi politik oleh suatu kelompok terhadap kelompok yang lain
Konfigirasi masyarakat multikultural.
Furnival
mengemukakan bahwa apabila dilihat dari konfigurasi etnis atau kelompok
yang menjadi unsurnya, paling tidak terdapat empat macam masyarakat
majemuk, yaitu: (1) masyarakat majemuk dengan kompetisi seimbang, (2)
masyarakat majemuk dengan maioritas dominan, (3) masyarakat majemuk
dengan minirotas dominan, dan (4) masyarakat majemuk dengan konfigurasi
fragmental.
1. Masyarakat majemuk dengan konfigurasi kompetisi seimbang
Di
antara kelompok-kelompok yang ada, masing-masing mempunyai kekuatan
kompetisi yang seimbang, tidak ada satupun kelompok yang dapat menguasai
yang lain. Integrasi sosial sebagai sebuah masyarakat besar tidak mudah
terjadi, kecuali kalau ada di antara kelompok-kelompok tersebut yang
berhasil membangun koalisi lintas kelompok, misalnya lintas etnik yang
membentuknya.
2. Masyarakat majemuk dengan konfigurasi maioritas dominan
Di antara kelompok-kelompok yang ada terdapat satu kelompok besar dan berkuasa.
3. Masyarakat majemuk dengan konfigurasi minoritas dominan
Di antara kelompok-kelompok yang ada terdapat satu kelompok yang kecil tetapi berkuasa
4. Masyarakat majemuk dengan konfigurasi fragmental
Terdiri
atas kelompok-kelompok kecil yang satu dengan yang lain saling terpisah
dan sangat terbatas interaksi dan komunikasinya. Sama dengan
konfigurasi kompetisi seimbang, masyarakat majemuk jenis ini pun
integrasi sosial hanya dapat dicapai apabila terjadi koalisi lintas
etnis.
Menurut Anda, sebagai sebuah masyarakat majemuk, masyarakat Indonesia memiliki konfigurasi yang mana?
Faktor-faktor peyebab kemajemukan
Meskipun
menurut sejarah, masyarakat Indonesia relatif berasal dari nenek moyang
yang sama, tetapi karena keadaan geografiknya, akhirnya masyarakat
Indonesia bersifat majemuk. Kondisi geografik yang menjadi penyebab
kemajemukan masyarakat, adalah
1. Bentuk wilayah yang berupa
kepulauan. Kondisi ini mengakibatkan, meskipun berasal dari nenek moyang
yang sama, tetapi akhirnya mereka terpisah-pisah di pulau-pulau yang
saling berbeda, sehingga masing-masing terisolasi dan mengembangkan
kebudayaan sendiri. Jadilah masyarakat Indonesia mengalami kemajemukan
ethnik atau sukubangsa.
2. Letak
wilayah yang strategis, di antara dua benua dan dua samudera, kondisi
ini mengakibatkan Indonesia banyak didatangi oleh orang-orang asing yang
membawa pengaruh unsur kebudayaan, antara lain –yang paling menonjol–
adalah agama. Kondisi ini mengakibatkan masyarakat Indonesia majemuk
dalam hal agama. Lima agama besar dunia ada di Indonesia. Lima agama
besar yang dimaksud adalah (1) Hindu (pengaaruh India), (2) Budha
(pengaruh bangsa-bangsa Asia), (3) Katholik (pengaruh kedatangan bangsa
portugis), (4) Kristen (pengaruh kedatangan bangsa Belanda), dan (5)
Islam (pengaruh masuknya pedagang-pedagang dari Timur Tengah).
3.
Variasi iklim, jenis serta kesuburan tanah yang berbeda di antara
beberapa tempat, misalnya daerah Indonesia bagian Timur yang lebih
kering, tumbuh menjadi sukubangsa peternak, daerah Jawa dan Sumatra yang
dipengaruhi vulkanisme tumbuh menjadi daerah dengan masyarajat yang
hidup dari bercocok tanam. Variasi iklim dan jenis serta kesuburan tanah
ini mengakibatkan masyarakat Indonesia majemuk dalam hal kultur, antara
lain cara hidup.
Bentuk Struktur Sosial Masyarakat Majemuk
1. Struktur sosial yang terinterseksi (intersected social structure)
Kelompok-kelompok
sosial yang ada dalam masyarakat dapat menjadi wadah beraktivitas dari
orang-orang yang berasal dari berbagai latar belakang sukubangsa, agama,
ras, dan aliran.
Dalam bentuk
struktur sosial yang demikian keanggotaan para anggota masyarakat dalam
kelompok sosial yang ada saling silang-menyilang sehingga terjadi
loyalitas yang juga silang-menyilang (cross-cutting affiliation dan
cross-cutting loyalities).
Bentuk struktur yang terinterseksi mendorong terjadinya integrasi sosial dalam masyarakat multicultural.
2. Struktur sosial yang terkonsolidasi (consolidated social structure)
Dalam
bentuk struktur yang demikian, kelompok-kelompok sosial yang ada hanya
mewadahi orang-orang yang berlatar belakang sukubangsa, agama, ras,
atau aliran yang sama.
Sehingga
terjadi tumpang tindih parameter dalam pemilahan struktur sosial. Orang
Bali akan identik dengan orang Hindu, orang Melayu identik dengan orang
Islam. Partai tertentu identik dengan orang Islam, partai yang lain
identik dengan orang Kristen, dan seterusnya.
Bentuk
struktur sosial yang semacam ini akan menghambat terjadinya integrasi
sosial dalam masyarakat multicultural, karena akan terjadi pertajaman
prasangka antar-kelompok.
Struktur
sosial terpilah dengan parameter yang tumpang tindih, pemilahan
berdasarkan sukubangsa tumpang tindih dengan pemilahan berdasrkan agama,
ras, aliran, atau kelas-kelas sosial dan ekonomi. Ikatan dalam
kelompok dalam akan sangat kuat, tetapi akan menimbulkan prasangka
terhadap kelompok luarnya.
Perilaku dalam masyarakat multikultural
Dalam
kehidupan masyarakat multikultural, sering tidak dapat dihindari
berkembangnya faham-faham atau cara hidup yang didasarkan pada
ethnosentrisme, primordialisme, aliran, sektarianisme, dan sebagainya.
* Ethnosentrisme merupakan faham
atau sikap menilai kebudayaan sukubangsa/kelompok lain menggunakan
ukuran yang berlaku di sukubangsa kelompok/masyarakat sendiri
*
Primordialisme merupakan tindakan memperlakukan secara istimewa
(memberi prioritas) orang-orang yang latarbelakag sukubangsa, agama,
ras, aliran atau golongan yang sama dalam urusan publik.
* Kronisme: memprioritaskan teman. Nepotisme = memprioritaskan anggota keluarga.
* Politik aliran merupakan kehidupan perpolitikan yang didasarkan pada faktor-faktor primordial (SARA)
*
Prasangka dan stereotipe ras/etnis adalah penilaian suatu ras/etnis
berdasarkan pendapat orang banyak yang belum pernah dibuktikan tetapi
dianggap benar
Proses integrasi dalam masyarakat multikultual
Integrasi sosial tidak hanya sebuah ungkapan normatif, melainkan juga telah lama menjadi persoalan akademik.
Secara sosiologis, terdapat dua pendekatan:
1) konsensus yang lebih menekankan pada dimensi budaya (teori struktural fungsional), dan
2) konflik yang lebih menekankan dimensi struktural (teori struktural konflik).
Menurut
pendekatan konsensus integrasi dapat dicapai melalui suatu kesepakatan
tentang nilai dasar (common platform); sedangkan menurut pendekatan
konflik, integrasi hanya dapat dicapai melalui dominasi satu kelompok
atas lainnya.
Integrasi sosial
dalam masyarakat majemuk dipengaruhi oleh beberapa ha, misalnya: (1)
struktur sosialnya, apakah interseksi atau konsolidasi, (2) faham atau
ideologi, yang berkembang dalam masyarakat apakah ethnosentrisme,
primordialisme, aliran, sektarianisme, dan lain-lain, ataukah faham
relativisme kebudayaan, (3) apakah dapat berlangsung koalisi, (4) apakah
dapat membangun konsensus tentang nilai dasar, (5) apakah berlangsung
proses-proses menuju akulturasi budaya majemuk, dan (6) adakah kelompok
dominan.
Struktur sosial yang bersifat
intersected, berkembangnya faham relativisme kebudayaan, koalisi
lintas-etnis, konsensus tentang nilai dasar, akulturasi budaya majemuk,
dan adanya kelompok dominan merupakan faktor-faktor yang mendorong
berlangsungnya integrasi sosial dalam masyarakat majemuk.
Multikulturalisme dalam masyarakat multikultural
Multikulruralisme pada dasarnya
merupakan cara pandang yang mengakui dan menerima adanya
perbedaan-perbedaan cara berfikir, cara berperasaan, dan cara bertindak
dalam masyarakat yang bersumber dari adanya latar belakang sukubangsa,
agama, ras, atau aliran yang berbeda.
Multikulturalisme lahir karena
adanya kesadaran bahwa di masa lalu hubungan di antara warga masyarakat
dalam majemuk lebih conderung didasarkan pada primordialisme,
ethnosentrisme dan aliran. Sehingga di dalam masyarakat majemuk terdapat
potensi konflik di antara kelompok-kelompok atau golongan-golongan
sosial yang ada. Hubungan yang demikian menimbulkan masalah dalam proses
integrasi sosial dalam masyarakat majemuk. Lahirlah faham
multikulturalisme yang lebih didasarkan pada pandangan tentang
relativisme kebudayaan. Bahwa pada dasarnya setiap kelompok atau
golongan sosial, baik itu sukubangsa, agama, ras, ataupun aliran
memiliki ukuran-ukuran dan nilai-nilainya sendiri tentang suatu hal,
meskipun tidak tertutup kemungkinan ditemukakannya common platform atau
kesamaan di antara kelompok atau golongan-golongan yang saling berbeda
itu.
sumber : erwientriyasa.blogspot.com