Sabtu, 11 Juni 2011

Aktivitas Anak desa VS Anak kota

"Rukun islam ada berapa?" Via anak tetangga depan rumah saya hanya menjawabnya dengan gelengan kepala ketika ditanya demikian oleh istri saya. Entah itu sebuah pertanda dia tidak tahu atau malu, saya juga kurang mengerti. Tapi saya lebih yakin, kalau anak yang sudah berusia sekitar 9 tahun itu memang tidak mengerti dan tidak tahu soal rukun Islam. Jangankan rukun Islam ditanya shalat yang wajib sehari semalam saja anak pertama dari dua bersaudara itu juga mengaku tidak tahu. Padahal bapak dan ibunya beragama Islam. Bahkan rumahnyapun hanya berjarak kurang lebih 5 meter dari Mushalla Nurul Huda, persis di sebelah selatan rumahnya. Pernah suatu ketika. Ketika hendak ke Mushalla untuk shalat berjamaah magrib. Saya lewat depan rumahnya yang mepet sama gang yang saya lewati. Jalan terdekat kemushalla dari rumah saya memang melawati rumahnya. Waktu itu saya liat Via begitu sangat konsentrasi sekali belajar pelajaran sekolahnya. Padahal adzan Magrib sudah selesai di kumandangkan sekitar 1 menit yang lalu. Malah yang membuat saya heran, ibunya justru mendampingi dia belajar disampingnya dengan begitu 'telatennya'. Fenomena seperti hal diatas mungkin merupakan hal yang biasa dilingkungan Masyarakat yang saya tempati saat ini. Selain Via, masih banyak lagi kasus serupa yang saya lihat. Dimana seorang anak hanya di tuntut untuk belajar pelajaran umum secara intensif. Seolah-olah dengan belajar pelajaran umum di sekolah mereka bisa mencapai segala hal yang mereka inginkan. Dan tentu saja hal yang mereka inginkan itu "cuma" sekedar materi semata. Tidak lebih. Bagi mereka, dengan hartalah mereka bisa bertahan hidup dan bahagia. Sepertinya kepercayaan mereka bahwa masih ada hidup sesudah mati nanti masih setengah-setengah atau tidak ada sama sekali. Melihat kenyataan ini. Saya kemudian jadi teringat masa lalu saya. Waktu kecil, sebelum magrib saya dibiasakan ikut teman-teman saya ke langgarnya K. Muari (Guru Ngaji ditempat saya dulu). Pada awalnya dilanggar yang ukurannya kurang lebih 10X10m2 itu, aktifitas saya hanya bermain saja. Sekali-kali saya juga diajari mengeja huruf hijaiyah sehingga hafal di luar kepala. Namun aktifitas bermain itu tidak boleh saya lakukan lagi semenjak saya sudah menikmati dengan pelajaran mengaji ini. Saya pun akhirnya paham, kalau dibolehkannya saya bermain itu hanya sekedar pancingan saja. Agar supaya saya merasa betah dilanggar tersebut bersama teman-teman saya. Setelah berkumandang adzan Isyak. Saya dan teman-teman diajak shalat berjamaah. Habis berjamaah, kami masih belum boleh pulang. Kami diajari tatacara gerakan shalat yang benar, berikut bacaan-bacaannya. Selain itu, kami juga diajari ilmu-ilmu Fiqh lainnya. Seperti tatacara berwudu', mandi besar, adab makan dan minum dan sebagainya. Habis itu baru bisa pulang. Aktifitas rutin seperti ini terus saya lakukan sehingga saya bisa baca Al-Quran dengan sendirinya (walaupun kadang masih ada kesalahan bacaan dalam tajwidnya). Jika tidak pergi kelanggar semalam saja dengan alasan tidak jelas, maka alamat keesokan harinya saya merasa malu sama teman-teman kerana selalu di olok-olok. Selain itu, Orang tua saya tidak jarang memarahi bahkan kadang memukul saya ketika saya malas-malasan untuk pergi ke langgar. Sungguh sebuah cara mendidik yang kurang manusiawi menurut saya waktu itu. Tapi manfaatnya baru benar-benar saya rasakan sekarang. Ketika saya sudah (di bilang) bisa membaca Al-Quran dengan baik dan benar, maka pada masa ini kadang saya dan teman-teman saya yang "selevel" diminta K. Muari untuk membantu mengajari adik-adik saya yang masih belajar huruf hijaiyah hingga mereka paham dan hafal diluar kepala sebagaimana saya diajari sama beliau dulu. Aktifitas ini baru terhenti semenjak saya nyantri ke Pondok Pesantren AnNuqayah.
Itulah sekelumit cerita masa kecil saya dulu. Sangat beda sekali dengan suasana lingkungan yang baru saya tempati ini. Sehabis magrib, disini justru waktu bermain bagi anak-anak selain kegiatan belajar. Ada yang main PS, nonton TV, bersepeda dan sebagainya. Padahal kata guru ngaji saya dulu, Waktu habis Magrib hingga isyak itu adalah waktu yang istijabah. Untuk itulah saran beliau agar supaya saya tidak menyia-nyiakan waktu istijabah ini, barang sedetikpun. "Eman.. benar-benar eman.." pesan beliau dengan sungguh-sungguh. Inilah sisi lain. Bahwa tak selamanya cara mendidiknya orang-orang kota itu baik bagi anak-anaknya, terutama dalam soal pendidikan Agama. Tapi itu di lingkungan saya. RT3, RT4 dan RT5 yang saya liat aktifitas anak-anak kecil semuanya pada bermain sehabis Magrib. Kalau ditempat-tempat lain..? Wallahu (Wa Ahlul Qaryah setempat - insyaALLAH) a'lam.

Sumber :Artikel hambah allah